Di tengah krisis yang berkepanjangan, zakat seolah menemukan momentum sejatinya, karena banyak cendekiawan muslim meyakini bahwa kemiskinan dan kefakiran dapat ditanggulangi melalui zakat. Tak hanya itu, memerangi kemiskinan dan kefakiran dengan zakat juga merupakan jalan jihad untuk mendapat ridho Allah SWT yang sesungguhnya.

"Jihad itu jelas, musuh yang dihadapi adalah setan dan hawa nafsu. Kalau memusuhi makhluk sesama manusia seperti yang dilakukan seperti di Solo, kemarin, itu namanya bukan jihad. Jihad dengan mudah mengkafirkan orang lain yang tidak segolongan dengannya juga tindakan yang salah," tutur Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah KH Masruri Mughni saat memberikan tausiah pada acara Halal Bihalal dan Workshop Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Zakat Produktif yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah di Hotel Semesta, Sabtu (1/10/2011) sebagaimana dikutip suaramerdeka.com.

Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah Dua Benda Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes itu, orang dapat disebut kembali suci pada Idul Fitri dikarenakan telah menunaikan kewajiban berzakat. Namun, persepsi yang kini tengah berkembang di tengah masyarakat yang menganggap bahwa zakat merupakan bentuk santunan dari orang yang mampu kepada yang tidak mampu.
"Persepsi itu harus diubah. Jadikan zakat sebagai upaya pengentasan kefakiran. Saya tidak sepakat dengan istilah miskin tapi lebih tepat dengan fakir. Kalau fakir itu orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan harta. Zakat itu tujuannya mengangkat dari fakir menjadi mampu. Sistemnya dirubah, pemberian zakat kepada orang fakir hingga dapat berusaha dan bangkit untuk memperoleh pekerjaan tetap," paparnya.

Ia mencontohkan, memberi modal orang fakir untuk mengembangkan usaha baru dapat menjadi sistem distribusi zakat saat ini. Sehingga manfaat zakat lebih mengena dan mengangkat perekonomian dengan sesungguhnya.
Ketua MUI Jateng Drs KH Ahmad Darodji MSi menjelaskan, dari data statistik 2010, kemiskinan di Jawa Tengah mencapai 5.359 juta atau sekitar 16,5 persen dari total penduduk. Kemiskinan itu, menurutnya,  terjadi karena faktor kultural dan struktural.

"Kemiskinan yang disebabkan karena faktor kultural dapat dientaskan melalui motivasi dan pendidikan, sedangkan faktor struktural dapat dilakukan dengan pemberdayaan, pemberian modal, latihan keterampilan, bimbingan serta monitoring dan evaluasi setelahnya," katanya.
Pihaknya berharap, pengelolaan zakat yang profesional seperti Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah (Bazis) dan lembaga lainnya, dapat dilakukan bersama-sama dalam rangka memberdayakan perekonomian masyarakat. 

Caranya, menurut Ahmad Darodji, jumlah nama, alamat dan penerima zakat diketahui dengan pasti untuk memudahkan keterampilan dan besarnya modal yang diberikan.
This entry was posted on 9:26 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: