Tiga belas tahun bukan waktu yang sedikit bagi Abdul Haris Amin (48 thn) hidup di Aceh. Selain sudah seperti tanah sendiri, ia sudah cinta pada wilyah yang pernah diterjang tsunami ini. Meski demikian, setelah dianggap berpengalaman berdakwah di wilayah Aceh, ia justru kembali dipindahkan tugaskan ke Papua. Kedua daerah ini dikenal wilayah konflik, walaupun Aceh sendiri, sejak 1995 Aceh telah dideklarasikan sebangai wilayah damai melalui MoU Helsinki. 

Tak ada lagi konflik RI dan GAM.
Wajar saja semua teman-temannya menjulukinya sebagai dai spesialis konflik.

“Hanya teman-teman saja yang menyebut saya da’i spesialis wilayah konflik. Yang saya rasakan hanya soal kesiapan mental dan siap ditugakan kemana saja,” katanya, saat bertemu terakhir kali di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, (2/10/2011), menjelang keberangkatannya bersama anggota keluarga ke Timika, Papua.

Ustaz Haris, begitu kami menyapanya, sejak 1998 hingga lima tahun lamanya bertugas di Pesantren Hidayatullah, Nisam, Aceh Utara. Kemudian pindah ke Medan selama dua tahun dan pasca tsunami Aceh 2004 ditugaskan kembali ke Hidayatullah Cabang Banda Aceh.

Ia mengisahkan, kiat berdakwah di wilayah konflik. Pertama,  mengharapkan doa dari teman-teman, supaya selalu dalam lindungan Allah Swt. Kedua, ia terus mengkuti memperhatikan dan arahan pimpinan.

Sebelum ini, akibat konflik, jumlah santri Pesantren Hidayatullah di Nisam, Aceh Utara, turun drastis, dari 120 orang tinggal empat orang lagi. Alhamdulillah sekarang kondisinya mulai normal kembali, dengan jumlah santri 32 orang.

Selain pengalaman di wilayah konflik, mantan Ketua Dewan Pertimbangan Hidayatullah Aceh ini, juga mendapatkan pengalaman berharga saat tsunami. Ia, sekaligus ikut menjadi relawan, mengurus pengungsi dan membantu rehabilitasi pasca tsunami.
“Tak semua orang bisa mendapatkan dua pengalaman dakwah sekaligus, konflik dan tsunami,” katanya.  Ia menyebut hal itu sebagai pendidikan alami yang diberikan Allah padanya.

Alhamdulillah, kini, Hidayatullah di Aceh pasca stunami telah berkembang pesat. Memiliki enam Cabang: di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Tenggara, dengan 212 santri/anak asuh dan 30 pengasuh/guru.

Sebelum meninggalkan bumi Aceh, ia menceritakan awal dakwahnya di Propinsi berjuluk Serambi Makkah itu. Saat itu, tugas pertamanya di Jakarta 1983. Selanjutnya berturut-turut pindah ke berbagai daerah: Samarinda, Bontang, ditugaskan lagi ke Jakarta, Menado, Manokwari, Kaltim, Lhokseumawe Aceh Utara, Medan dan Banda Aceh.
Kini, tugas telah menantinya kembali untuk berdakwah di bumi Timika.
“Mohon doa saya dapat bertugas dengan baik dan mencapai target dakwah di Timika,” harapnya.*/ Sayed M Husen, Aceh
This entry was posted on 4:48 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: